Alarm di kepalaku tampaknya gak mau tau kalau aku sedang liburan. Jam 5.30 pagi aku sudah dibangunin. Kamar masih gelap tentu saja. Terakhir kali kudengar Norman, tetangga sebelah atas tempat tidurku, kejedot langit-langit kamar terus mengumpat saat naik ke tempat tidurnya sekitar jam 2 pagi. Rasanya pengen ketawa karena itu bukan pertama kalinya ku dengar Mas Jangkung asal Jerman itu kejedot. Tapi gak baik menertawakan kesialan orang hehe. Gak bisa balik tidur lagi. Akhirnya aku membuka sedikit tirai disamping tempat tidur agar aku bisa membaca.
Jam 7 pagi, setelah mandi dan cek perlengkapan : kamera, tripod, bandana, jaket, topi, kacamata hitam, passport dan uang, all checked. Dan praktis semua masuk ke tas kamera mungil.
Selesai aku memakai jaket hendak pergi, tiba-tiba Russel, cowok Brit tetangga sebelah yang baru ku kenal semalam, bangun, berjalan ke kamar mandi sambil kucek-kucek mata dan menyapaku, "Morning, Christine." Omaigosh!! Aku gak tahu harus bereaksi bagaimana melihat cowok ganteng yang melenggang santai didepanku hanya dengan sempak doang. Akhirnya aku nyengir dan balik menyapa, "Morning, Russ." Dilanjutkan dengan basa basi mau kemana? Dimana itu? Naik apa? Aku menjelaskan dan berusaha untuk tidak melototin badannya yang keren itu. Dan akhirnya aku bilang, "Gotta go now." Doi tersenyum sambil mengacungkan sikat gigi. "Have fun".
Aku kebawah untuk sarapan. Omelet, pisang goreng yang ditaburi bubuk coklat dan secangkir kopi hitam. Hari ini Mr. Sarth dan aku sudah janjian ketemu jam 8 pagi untuk ke Phnom Kulen. Kali ini gak pake tuk-tuk, jadi cuma motor doang. Keluar Siem Reap Mr. Sarth memperbolehkan aku nyetir motornya. Okeeeey.... rasanya aneh nyetir disebelah kanan karena kadang refleks aku terlalu kekiri. Tapi untunglah lalu lintas disini gak sepadat Jakarta.
Selesai aku memakai jaket hendak pergi, tiba-tiba Russel, cowok Brit tetangga sebelah yang baru ku kenal semalam, bangun, berjalan ke kamar mandi sambil kucek-kucek mata dan menyapaku, "Morning, Christine." Omaigosh!! Aku gak tahu harus bereaksi bagaimana melihat cowok ganteng yang melenggang santai didepanku hanya dengan sempak doang. Akhirnya aku nyengir dan balik menyapa, "Morning, Russ." Dilanjutkan dengan basa basi mau kemana? Dimana itu? Naik apa? Aku menjelaskan dan berusaha untuk tidak melototin badannya yang keren itu. Dan akhirnya aku bilang, "Gotta go now." Doi tersenyum sambil mengacungkan sikat gigi. "Have fun".
Aku kebawah untuk sarapan. Omelet, pisang goreng yang ditaburi bubuk coklat dan secangkir kopi hitam. Hari ini Mr. Sarth dan aku sudah janjian ketemu jam 8 pagi untuk ke Phnom Kulen. Kali ini gak pake tuk-tuk, jadi cuma motor doang. Keluar Siem Reap Mr. Sarth memperbolehkan aku nyetir motornya. Okeeeey.... rasanya aneh nyetir disebelah kanan karena kadang refleks aku terlalu kekiri. Tapi untunglah lalu lintas disini gak sepadat Jakarta.
Phnom Kulen dari kejauhan |
numpang narsis |
jalanan sepi jo... |
Perjalanan berlanjut melewati hutan dan jalan tanah. Jalan menuju ke puncak Kulen sebagian sudah rata sebagian besar masih rusak. Kanan kiri jalan adalah hutan. Itu sebabnya Mr. Sarth hanya membawa motornya. Terlalu berbahaya untuk tuktuk. Sekeliling Gunung Kulen merupakan lembah yang asri dan hutan yang lebat. Cerita Mr. Sarth, hutan Kulen juga merupakan pemukiman dan pengasingan orang Khmer Merah yang dahulu terdesak saat regim mereka jatuh. Hadoooh, mendengar kata Khmer Merah aku langsung merasa seram sekali.
Sekitar 40 menit sampailah kami di check point ke dua. Di check point ini untuk pemeriksaan tiket dan pembayaran parkir. Gak ada kantor khusus untuk itu, cuma petugas yang duduk di gardu jaga. Phnom Kulen atau Gunung Koulen, sebenarnya lebih tepat disebut bukit karena tinggi rata-rata hanya 400 meter. Pegunungan ini memanjang sekitar 40 kilometer. Gunung ini merupakan gunung yang sakral bagi pemeluk Hindu dan Buddha di Kamboja. Banyak situs-situs dari kedua agama tersebut di gunung ini.
Preah Ang Thom, sebuah biara Budha dimana di kuil tersebut juga terdapat sebuah sebuah patung Buddha yang sedang tidur, yang diukir di sebuah batu besar. Di biara ini juga terdapat salah satu telapak kaki Buddha yang jumlahnya cuma ada 3 di Kamboja. Di biara aku sempat di ramal oleh satu biksu. Mr. Sarth yang memaksa, tapi karena gratis ya sudahlah.
gerbang Preah Ang Thom |
Pada masa Angkorian, raja Jayavarma II meletakkan 1000 Linga (ukiran batu kecil) diletakkan sekitar 10 cm dari permukaan sungai, di sepanjang sungai, untuk menyucikan air sungai tersebut hingga ke sebuah air terjun. Linga tersebut sangat indah dan sakral bagi agama Hindu karena menggambarkan dewa Wisnu, Dewi Laksmi dan Dewa Brahma. Sungainya dipagari dan diberikan tanda agar turis tidak masuk ke dalam sungai dan menginjak-injak linga. Dan... lihatlah apa yang dilakukan oleh sekelompok turis Cina di belakang sana ini.
turis yang gak hormat |
Puas bermain air, kini saatnya pulang. Dalam perjalanan pulang kami mampir ke warung untuk makan siang. Sepiring mie goreng dengan irisan daging yang lumayan lezat. Sepanjang perjalanan hari ini aku begitu banyak mengenal kehidupan asli orang Kamboja. Keluguan mereka dan juga kesederhanaan mereka. Disamping tindakan beberapa orang lokal yang kurang menyenangkan, aku banyak menemukan kebaikan dari penduduknya yang ramah dan murah senyum. Satu hal yang membuatku terenyuh, saat Mr. Sarth membeli sekilo gula merah, aku bertanya untuk apa beli banyak-banyak. Dia bilang untuk anak-anaknya. Mereka masih sekolah dan butuh banyak gizi dan dia gak mampu beli susu yang mahal. Ya ampuuun....
Sampai di hostel sekitar jam 4 sore. Duduk di lobby hostel sambil menikmati segelas juice mangga aku berkenalan dengan roommie baruku, Trudy. Kemudian aku menyempatkan diri untuk berenang sebelum makan malam. Kurasa malam ini aku ingin melanjutkan membaca saja...
Penasaran isi ramalannya. Kok nggak ditulis di sini siiihh, hehe..:)
BalasHapusTerlalu bagus buat di kasih tau. Di ameeen-kan saja hahaha.. ;)
Hapus